Merdeka.com - Mantan Direktur Pengawasan pada Bank Indonesia, Iwan Ridwan Prawiranata mengatakan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) masuk daftar 54 bank tidak sehat di tahun 1998. Berdasarkan laporan perusahaan akunting yang ditunjuk pemerintah, saldo debet BDNI mencapai Rp 166,3 miliar.
BERITA TERKAIT
Saldo debet atau penarikan dana oleh nasabah, menurut Iwan, mempengaruhi stabilitas keuangan BDNI sebab kredit atau aset lebih kecil ketimbang jumlah debet sehingga bank yang dimiliki oleh Sjamsul Nursalim itu masuk ke daftar bank tidak sehat.
"Saldo debet BDNI setelah 31 Desember 1997 berdasarkan perusahaan akunting, saldo debet pada 5 Januari 1998 sebesar Rp 166,3 miliar dan berlanjut sampai bank tersebut di TO (take over) kan. (Penyebabnya) terjadi penarikan tunai dan transfer dan kekalahan BDNI dalam kliring," ujar Jaksa Wayan saat membacakan Berita Acara Pemeriksaan milik Iwan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (21/6).
Iwan menjelaskan, setelah BPPN melakukan audit BDNI masuk dalam kategori bank Take Over. Artinya segala transaksi keuangan bank tersebut diawasi, termasuk pejabat bank.
Dia menuturkan, saat proses take over komisaris beserta direktur bank diberhentikan sementara dan digantikan dengan orang-orang pilihan BPPN.
"Kegiatan perbankan diawasi oleh bank yang lain tugas komisaris diberhentikan dan diganti komisaris pengganti yang ditunjuk BPPN," ujar Iwan.
Sementara dalam situasi krisisi, pemerintah rezim Soeharto mengeluarkan beberapa kebijakan yang intinya tidak boleh ada penutupan bank demi menjaga likuiditas. Atas kebijakan itu, Bank Indonesia melalui BPPN menyalurkan sejumlah dana ke beberapa bank tidak sehat, termasuk BDNI.
Lebih lanjut, Iwan mengatakan pernah bertemu dengan Sjamsul Nursalim saat proses gonjang ganjing perbankan nasional. Dalam pertemuan tersebut, pihak BPPN meminta penjelasan Sjamsul perihal langkah-langkah penyehatan bank miliknya, menyusul adanya saldo debet.
Saat itu, Sjamsul mengatakan pihaknya akan menutup saldo debet dengan menjual perusahaannya yang ada di Amerika.
"(BPPN) Minta penyelesaian saldo debet. (Sjamsul) mengusahakan menutup saldo debet dan mengatakan akan menjual perusahaannya yang di Amerika," ujarnya.
Diketahui dalam kasus ini BDNI merupakan obligor terhadap BLBI melalui BPPN sebagai penyalurnya. Dalam prosesnya, BDNI dengan kepemilikan saham terbesar adalah Sjamsul Nursalim dianggap misrepresentatif karena membebankan piutang ke petani tambak PT Dipasena, Darmaja dan PT Wachyuni Mandira yang tidak mampu menyelesaikan kewajiban utang.
Sjamsul pun diwajibkan bertanggung jawab membayar Rp 4,58 M sebagaimana aset yang dilimpahkan BDNI ke perusahaan tambak tersebut. Namun, belum selesai Sjamsul menyelesaikan kewajibannya, Syafruddin menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap BDNI.
Ia pun didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. [did]
https://www.merdeka.com/peristiwa/para-nasabah-tarik-tunai-bdni-gonjang-ganjing-dananya-keluar-rp-166-m.html
No comments:
Post a Comment