Merdeka.com - Presiden Filipina Rodrigo Duterte kini menghadapi terpaan kritik di dalam negeri karena krisis kenaikan harga barang. Duterte kemudian menyalahkan kebijakan tarif yang diterapkan Amerika Serikat sebagai biang keladi.
BERITA TERKAIT
Inflasi di Filipina mencapai rekor tertinggi dalam sembilan tahun terakhir, dengan mencapai 6,4 persen pada Agustus 2018 dan mencapai 5,7 persen pada Juli 2018.
Itu menjadikan rerata nilai inflasi tahun 2018 di Filipina sudah mencapai 4,8 persen, di luar batas target inflasi yang dicanangkan pemerintah pada kisaran 2 hingga 4 persen, dan sedikit di bawah perkiraan inflasi setahun penuh bank sentral yang direvisi sebesar 4,9 persen.
Para pengamat ekonomi mengaitkan inflasi tinggi Agustus 2018 dengan harga listrik, gas, bahan bakar, ikan, beras, transportasi pribadi, sayuran, dan daging yang melonjak.
Duterte, bagaimanapun, percaya bahwa kebijakan yang diterapkan Presiden AS Donald Trump ada hubungannya dengan kenaikan harga komoditas di Filipina.
"Kebijakan (yang diterapkan) Trump menyebabkan inflasi, ketika ia (Trump) menaikkan tarif dan melarang sejumlah barang-barang lainnya masuk," kata Duterte seperti dikutip dari The Phil Star, Minggu (9/9).
Rodrigo Duterte tidak menjelaskan bagaimana kebijakan perdagangan AS mempengaruhi harga barang di Filipina.
Kendati demikian, Duterte yakin bahwa hal itu ada hubungannya dengan Perang Dagang AS-China, menyusul AS memberlakukan tarif tinggi atas beberapa barang China, karena dugaan pelanggaran hak kekayaan intelektual.
Di sisi lain, Negeri Tirai Bambu sendiri merupakan mitra dagang utama Filipina, yang mana barang-barang Tiongkok cukup semarak di negara Asia Tenggara itu.
Dalam kesempatan yang sama, Duterte mengatakan bahwa ia menyerahkan permasalahan inflasi itu kepada menteri dan penasihat ekonominya
"Inflasi benar-benar ada dan kami mencoba untuk mengendalikannya," kata Rodrigo Duterte.
Istana Kepresidenan Malacanang sebelumnya mengatakan bahwa inflasi Agustus 2018 tidak mengkhawatirkan karena disebabkan oleh permintaan domestik yang kuat dan rerata pendapatan yang siap dibelanjakan (Disposable Income) masyarakat yang tinggi berkat undang-undang Reformasi Pajak untuk Akselerasi dan Inklusi atau (TRAIN Act).
Undang-undang itu mencakup paket yang membuat perubahan dalam perpajakan mengenai pajak penghasilan pribadi, pajak properti, pajak donor, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak stempel dokumenter dan cukai produk minyak, mobil, minuman, kosmetik, batu bara, penambangan dan tembakau.
Ciri yang menonjol dari reformasi pajak itu adalah bahwa orang yang berpenghasilan menengah ke bawah, termasuk penerima upah minimum, sedikit atau hingga dibebaskan dari membayar pajak penghasilan pribadi. Di sisi lain, mereka yang berpenghasilan menengah ke atas dikenai tarif pajak yang lebih tinggi.
Undang-undang itu adalah bagian dari Visi 2020 dan Visi 2040 yang digagas oleh Duterte tentang pengaruhnya terhadap ekonomi, pembangunan dan pengentasan kemiskinan di Filipina.
Namun, perselisihan tentang pengesahan undang-undang ini telah ada sejak awal dan bagaimana itu berdampak sejak diratifikasi, telah menjadi isu kontroversial.
Pada kuartal pertama 2018, hasil positif dan negatif telah terjadi akibat TRAIN Act itu. Mulai dari peningkatan pendapatan pajak, pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan tambahan dalam PDB.
Di sisi lain, tingkat inflasi tinggi telah menjadi penyebab banyak keributan dan keberatan atas undang-undang itu. Di Filipina, telah muncul petisi untuk menangguhkan dan mengubah undang-undang tersebut, dengan harapan dapat melindungi sektor-sektor tertentu dari kenaikan harga dan inflasi.
Reporter: Rizki Akbar Hasan
Sumber: Liputan6.com [pan]
https://www.merdeka.com/dunia/duterte-tuding-trump-penyebab-inflasi-di-filipina.html
No comments:
Post a Comment